Keberhasilan Kepemimpinan Perempuan dalam Masa Pandemi



Penulis: Dias Pabyantara S.M.


Dalam satu tahun terakhir, dunia telah mengalami setidaknya dua kali gelombang pandemic COVID-19. Gelombang pertama terjadi pada Maret 2020 saat WHO mengumumkan kondisi pandemi, selanjutnya pada saat ditemukan persebaran varian delta. Konon kabarnya tidak ada negara di dunia yang mengantisipasi terjadinya pandemi. Akibatnya pada saat awal pandemi, kenaikan kasus terjadi eksponensial hingga menyebabkan kepanikan di seluruh dunia.
Perbedaan kondisi sosial, ekonomi dan politik turut berpengaruh terhadap pilihan respon dari masing-masing negara. Ada yang memilih karantina wilayah mayoritas negara-negara belahan Utara atau yang memilih pilihan selain karantina wilayah, seperti Indonesia. Namun ada satu pola menarik ketika mengamati respon negara terhadap pandemi. Negara-negara yang pada awal pandemi dianggap responsif dan berhasil mengendalikan pandemi secara cepat seperti Selandia Baru, Taiwan, Jerman, Norwegia, dan Finlandia dipimpin oleh perempuan. Hal ini membuka diskusi bahwa selain struktur material yang penyusun kebijakan, faktor ideasional seperti gender juga berpengaruh terhadap efektivitas respon pemimpin.
Penelitian dari Carol Johnson dan Blair William pada Juni 2020 misalnya menyebutkan pola menarik terkait hubungan gender pemimpin negara dengan efektivitas respon terhadap pandemi. Negara yang dipimpin dengan gaya komunikasi politik dekat dengan konstruksi nilai “keibuan” cenderung berhasil dalam menekan angka penularan dan kematian akibat COVID-19. Gaya komunikasi politik yang “keibuan” terbukti efektif dalam mengajak publik mematuhi kebijakan pemerintah. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern misalnya setelah mengumumkan untuk memberlakukan karantina wilayah total pada Maret 2020, Ardern kemudian melakukan siaran live di Facebook pribadinya. Yang menarik adalah Ardern menggunakan kaos, sweater dan celana panjang. Dalam sesi Facebook live tersebut Ardern juga meminta maaf tentang busana yang dikenakannya dan menyampaikan “it can be messy putting toddlers to bed”. Kesan yang muncul dari gaya komunikasi tersebut adalah bahwa seorang perdana menteri juga adalah ibu ketika di rumah, tidak ada bedanya dengan warga negara yang lain di masa pandemi.
Nada komunikasi dari Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg juga kurang lebih sama. Solberg secara spesifik membuat siaran pers tentang betapa mengerikan pandemi ini bagi anak-anak setelah mengumumkan karantina wilayah total pada 12 Maret 2020 lalu. Setelah menyampaikan simpatinya terhadap anak-anak Norwegia yang terpaksa kehilangan waktu bermain dan belajar di luar, Solberg baru secara spesifik menyampaikan apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan pada orang tua. Urgensi yang dibangun adalah orang tua akan dilindungi tidak hanya karena mereka adalah warga negara tapi juga karena mereka mempunyai anak-anak yang harus dirawat. Artinya, PM Solberg memosisikan warga negara tidak hanya dalam kerangka politik pemimpin dan rakyat tapi lebih jauh sebagai sesama manusia dan orang tua. Gaya komunikasi ini direspon dengan baik oleh publik karena keberhasilannya membangun kesamaan nasib antara pemimpin dan rakyat melalui komunikasi yang “keibuan”.
Kanselir Jerman, Angela Merkel bahkan dijuluki mummy (mutti) pada terpilih untuk ketiga kalinya pada tahun 2013. Hal ini disebabkan karena gaya komunikasi dan kepemimpinannya dianggap para pendukung mirip seorang ibu yang selalu ada untuk mereka. Personifikasi Merkel sebagai “ibu” juga datang dari kebiasaan Merkel yang berbelanja sendiri bahan-bahan makanan ke supermarket bahkan setelah menjabat sebagai Kanselir. Citra yang muncul adalah bahwa diluar keputusan-keputusan politiknya, Merkel adalah ibu yang harus memasak untuk keluarganya. Dalam kondisi pandemi personifikasi peran “ibu” sebagai pemimpin juga efektif dalam membangun sense of crisis bagi rakyatnya. Setelah mengumumkan karantina wilayah total Merkel merilis pernyataan yang bernada “keibuan” dengan mengatakan bahwa “even now, grandchildren are recording podcasts for their grandparents, letting them know they are not alone”. Kesan yang muncul adalah bahwa terlepas dari posisi politik sebagai seorang Kanselir, Merkel tetap sama dengan rakyatnya, seorang nenek yang merindukan cucunya.

Personifikasi pesan “keibuan” tersebut adalah bentuk dari konsep gender performative yang digagas Judith Butler. Secara singkat, gender dalam konteks apapun baru akan dianggap riil jika dipraktikkan melalui rangkaian tindakan. Orang tidak akan percaya Merkel, Ardern atau Solberg adalah ibu yang kebetulan menduduki posisi strategis jika mereka tidak melakukan tindakan yang mencerminkan itu. Ketiganya nampaknya sadar bahwa dalam masa krisis kesehatan gaya kepemimpinan yang dekat dengan nilai feminitas justru menuai keberhasilan dalam bentuk simpati kepatuhan publik terhadap kebijakan pemerintah. Hasil akhirnya adalah performa yang baik dalam penanganan pandemi.
Hal ini menarik untuk dijadikan titik berangkat penelitian lebih lanjut. Narasi umum yang berkembang adalah bahwa feminitas seringkali justru merugikan pemimpin perempuan karena dekat dengan nuansa domestikasi. Pemimpin perempuan sering harus menghadapi struktur politik yang mencitrakan dirinya negatif, tidak kapabel dan tidak seharusnya menempati posisi pemimpin karena identik dengan maskulinitas. Namun dalam konteks krisis pandemi gaya kepemimpinan yang dekat dengan performa gender feminin justru efektif dalam menumbuhkan sense of crisis and kepatuhan dari rakyat. 
 

Referensi:

Ardern, Jacinda. 2020. Facebook Live: March 25. [online] dalam https://www.facebook.com/jacindaardern/videos/147109069954329/ diakses pada 12 Agustus 2021.

Butler, Judith. 1988. Performative Acts and Gender Constitution: An Essay in Phenomenology and Feminist Theory. Theatre Journal Vol. 40, No. 4, pp. 519-531

Evans, Stephen. 2013. Why Germans Came Home to 'Mummy'. [online] dalam https://www.bbc.com/news/world-europe-24201813 diakses pada 12 Agustus 2021

Johnson, C., & Williams, B. 2020. Gender and Political Leadership in a Time of COVID. Politics & Gender, 16(4), 943-950

Press and Information Office of the Federal Government. 2020. An address to the nation by Federal Chancellor Merkel. [online] dalam https://www.bundesregierung.de/bregen/search/statementchancellor-1732296 diakses pada 12 Agustus 2021

Solberg, Erna. 2020. Norwegian Prime Minister Erna Solberg’s Introduction At Press Conference For Children. [online] dalam https://www.regjeringen.no/en/aktuelt/norwegian-prime-minister-ernasolbergs-introduction-at-press-conference-for-children/id2693742/ diakses pada 12 Agustus 2021

 

 

0 Comments