Refleksi Kemerdekaan Indonesia ke-76

 


Penulis: Kholifatus Saadah


Menurut KBBI, merdeka adalah bebas dan berdiri sendiri. Dalam artian ini, Indonesia Merdeka berarti memiliki artian bahwa Indonesia, sebagai negara dan juga masyarakatnya, memiliki kebebasan dan berdiri sendiri tanpa adanya penjajahan. Jika menilik sejarah panjang kemerdekaan, Indonesia menghadapi banyak bangsa asing yang berupaya untuk mengeruk seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Melalui perjuangan Bangsa Indonesia, tercapailah kemerdekaan yang selalu kita peringati bersama pada 17 Agustus. Lalu, setelah penjajah sudah pergi dari tanah air tercinta ini, apa yang kemudian harus kita perjuangkan? Apakah benar-benar sudah merdeka?

Menarik kemudian apabila kita kembali menilik isi alinea 3 pembukaan UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusi negara ini. Ada satu bagian yang menarik yaitu “…supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”. Konteks ini kemudian dapat ditelaah lebih lanjut, kehidupan kebangsaan yang bebas ini yang seperti apa? Pada pasal 28 misalnya, kita dapat menemukan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Dalam hal ini, dapat kita katakana bahwa secara aturan, masyarakat Indonesia memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat baik secara tulisan maupun lisan. Lalu kemudian, mari kita lihat kembali dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 2, berisi:

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.”

Menurut penjelasan beberapa undang di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada banyak jaminan mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat dan juga berekspresi terkait dengan kebijakan publik ataupun aturan yang dirasa tidak tepat. Apalagi, jika suatu negara menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya, maka mekanisme check and balance merupakan hal yang mutlak dijalankan. Karena secara konsep, demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Indonesia adalah negara demokrasi, kita semua memahami hal tersebut. Negara kita juga memiliki mekanisme aturan yang seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara terbuka sesuai dengan aturan masing-masing. Namun faktanya, beberapa waktu belakangan terakhir ini kita melihat banyak “bentuk protes” dari masyarakat yang justru mendapatkan represi dari aparat dengan alasan melanggar etika dan mengganggu ketentraman warga. Beberapa mural atau lukisan yang dilakukan oleh warga yang kemudian “diserang balik” oleh aparat adalah mural di Tangerang yang menggambarkan Presiden Jokowi dengan logo “404 not found” menghiasi matanya, lalu juga penggambaran “Dipaksa sehat di negara yang sakit,” yang digambarkan dengan dua karakter kartun di Pasuruan, juga tidak luput dari sasaran aparat untuk ditutupi oleh cat hitam. Kondisi ini tak ayal memunculkan pertanyaan besar bagi masyarakat umum, apakah kita tidak boleh lagi menyampaikan kritik kepada pemerintah atas kekecewaan yang dirasakan? Di manakah kemerdekaan itu?

Alih-alih menjawab keresahan masyarakat yang diungkapkan di sosial media, salah satu staf khusus Menteri Sekretaris Negara di bidang komunikasi, Faldo Maldini justru mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh seniman mural tersebut melanggar karena merusak fasilitas publik. Cukup mengejutkan ketika komentar itu dilontarkan karena mengesankan bahwa pemerintah menjadi anti-kritik.

Dilansir BBC, Pakar Sosiologi Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubeidilah Badrun menjelaskan bahwa apa yang dilakukan pemerintah sebagai respon atas mural tersebut adalah tindakan yang mengarah pada ketakutan dari pemerintah. Justru hal ini yang kemudian bisa dipertanyakan lebih jauh, jika itu tidak benar, kenapa harus takut? Kenapa harus dihapus dan dianggap meresahkan warga? Pertanyaan-pertanyaan tersebut justru seharusnya terjawab dibandingkan dengan aksi penghapusan paksa mural yang menjadi bentuk protes atau luapan kekecewaan masyarakat. Indonesia sudah merdeka selama setidaknya 76 tahun, tapi, apakah kita benar-benar merdeka? Apakah benar kita bisa bertindak sesuai dengan hak asasi, termasuk di dalamnya menyampaikan pendapat?

Penulis berpikir, tidak ada yang salah dalam penyampaian pendapat melalui mural tersebut. Banyak negara demokrasi yang membiarkan mural, atau melalui film yang tersebar di masyarakat jika ada pesan protes di dalamnya. Mekanisme check-balance seharusnya sudah menjadi dasar bagi negara demokrasi. Kalau tidak boleh memberikan kritik, lalu apa fungsi masyarakat di dalam negara demokrasi? Dilansir dari laporan Freedom House, Indonesia memiliki nilai 59/100, turun 2 poin dari tahun 2020. Pada bagian Civil Liberties atau kebebasan sipil, Indonesia hanya memiliki nilai 29/60, nilai yang miris bagi negara dengan sistem demokrasi. Lebih tepatnya, pada poin D4, pertanyaan mengenai “Are individuals free to express their personal views on political or other sensitive topics without fear of surveillance or retribution?” Penjelasan mengenai jawaban ini mengarah ke kebebasan untuk berekspresi masih kurang. Bahkan, Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki aturan yang ketat agar tidak melenceng dari ideologi Pancasila dalam bersikap ke depannya. Hal ini mengesankan bahwa pemerintah cenderung tidak menerima kritik yang bersifat kritis, karena dianggap melenceng dari Pancasila. Padahal, belum tentu pendapat yang dikemukakan bertentangan dengan ideologi negara. Ideologi negara mana yang memangnya tertantang apabila ada masyarakatnya mengeluhkan bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja mengingat korupsi gila-gilaan dari para pejabat tidak tahu malu, dan kita disuruh tetap sehat karena sedang masa pandemi. Itu merupakan pendapat personal dari masyarakat sebagai bagian dari negara demokrasi. Jika misalnya Indonesia masih mempertahankan “caranya” untuk merespon kritik dan protes, maka bukan tidak mungkin jika nantinya indeks demokrasi yang dimiliki akan semakin turun dan justru, akan mencoreng status demokrasi Indonesia sendiri.

 

Referensi

BBC Indonesia. 2021. “Kritik 'Jokowi 404: Not Found' berujung penghapusan mural: 'mengapa kita tidak boleh protes?'”, 16 Agustus 2021. [daring] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58220409

CNN Indonesia. 2021. “Ramai Kritik via Mural Berujung Hapus Karya dan Buru Pelukis.” 16 Agustus 2021. [daring] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210816085031-20-680822/ramai-kritik-via-mural-berujung-hapus-karya-dan-buru-pelukis

DPR RI. T.t. “Undang – Undang Dasar 1945.” [daring] https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945

Freedom House. 2021. “Indonesia.” [daring] https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2021

KBBI. T.t. “Merdeka.” [daring] https://kbbi.web.id/merdeka

Mustakim. 2021. “Mural, Kritik Sosial atau Kriminal?” Kompas, 18 Agustus 2021. [daring] https://nasional.kompas.com/read/2021/08/18/11414561/mural-kritik-sosial-atau-kriminal?page=all

 

 

0 Comments