[REPORT] Interpreting Netizen Respond Towards Russia Invasion from Gender Perspective


Pada Jumat (29/4) pukul 15.00, Center for Identity and Urban Studies (Centrius) mengadakan sebuah diskusi daring. Kali ini, mitra Centrius adalah Computational Social Science (Comsos), sebuah pusat studi yang berfokus pada analisis isu-isu global terkini melalui data digital. Bertajuk “Membaca Narasi Netizen dalam Isu Invasi Rusia melalui Perspektif Gender”, diskusi kali ini adalah bagian dari diseminasi penelitian kolaboratif antara Centrius dan Comsos dengan tema yang sama.

Diskusi ini menghadirkan Palupi Anggraheni (Visiting Researcher Centrius) dan Bimantoro Kushari (Pendiri Comsos) selaku pemateri. Di samping itu, ada pula Radityo Dharmaputra (Peneliti Johan Skytte Institute of Political Studies) sebagai penanggap.

Penelitian ini berangkat dari pertanyaan tentang mengapa muncul kelompok narasi yang cenderung mendukung Rusia dalam isu invasi Rusia ke Ukraina dalam netizen Indonesia. Adapun, dua pendekatan yang diambil dalam penelitian ini adalah tentang poskolonialisme dan konstruksi gender.

Paparan diawali oleh penjelasan dari Bimantoro mengenai bagaimana penelitian ini dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengolah sebanyak 6.280 konten dari Twitter yang digali dari sejumlah kata kunci yang mewakili dukungan warganet terhadap Rusia serta kata kunci yang dianggap mewakili sifat maskulinitas akan sosok Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Temuan dari penelitian ini membuktikan bahwa 49.74% warganet Indonesia mendukung Rusia karena adanya persepsi bahwa Putin merupakan sosok yang berani menantang hegemoni Barat. Di sisi lain, sejumlah 27.39% warganet diketahui mendukung Putin karena ia dianggap sosok pro-Islam, atau paling tidak sejalan dengan narasi Islamis untuk menentang Barat. Narasi yang semacam ini rupanya juga diambil oleh media-media Indonesia, saat Rusia acap digambarkan sebagai negara yang ramah terhadap Muslim jika dibandingkan dengan kabar-kabar Islamofobia yang kerap muncul dari Barat.

Dari temuan tersebut, Palupi menjelaskan bahwa dalam sudut pandang gender, dukungan untuk Putin ini dipengaruhi juga dengan adanya persepsi negatif terhadap pemerintah Indonesia dalam bentuk “feminisasi” terhadap citra pemerintah Indonesia. Hal ini adalah ketika pemerintahan Rusia dianggap mewakili nilai-nilai “maskulin” seperti keras, berani, serta tegas sementara saat ini pemerintahan Indonesia dianggap tak memiliki nilai tersebut.

Menanggapi hasil penelitian, Radityo memberikan tangapan bahwa temuan ini perlu ditindak lanjuti dengan dengan melakukan pemngembangan riset. Perlu dibedah lebih lanjut apakah narasi media yang membentuk persepsi positif public terhadap Rusia atau pada dasarnya warganet puny acara pandang sendiri terhadap Rusia mengikuti cara berpikir kolonial. Lebih lanjut, mengutip pandangan poskolonial, Radityo mengingatkan bahwa Indonesia dulu juga sempat mengalami masa penjajahan. Di sisi lain, ini kurang lebih sama dengan Ukraina yang dulu juga merupakan wilayah yang ada di bawah kuasa Uni Soviet.



Laporan penelitian dapat diuduh di bawah:



Rekaman pemaparan hasil penelitian dan jalannya diskusi dapat disaksikan melalui tautan Youtube di bawah:




Versi rekaman suara dapat diakses melalui tautan siniar di bawah:

0 Comments